Pendahuluan
Versi pendek dari
tulisan ini, terbit di Koran Tempo, 12 September 2003. Ini merupakan memo
perintisan Linux di Indonesia berdasarkan ingatan/ memori/ pengalaman penulis
saat bekerja di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia (PUSILKOM UI). Tentu
saja kurang akurat, namun diharapkan dapat memberikan gambaran keadaan Linux
pada khususnya, Unix secara umum, dari era 1980-an hingga awal krisis moneter
(krismon) tahun 1997.
Era Pra 1990an
Era 1980-an merupakan
akhir dari zaman keemasan komputer mini — komputer yang tidak secanggih
“main-frame”, namun setiap sistem terdiri dari bongkahan besar. Nama-nama besar
pada zaman tersebut, seperti “DEC – Digital Equipment Corp.”, “DG — Data
General”, “HP — Hewlett Packard”, “Honeywell — Bull”, “Prime”, dan beberapa
nama lainnya. Setiap komputer mini ini, dijalankan dengan sistem operasi
tersendiri. Setiap sistem operasi ini tidak cocok (kompatibel) dengan sistem
operasi dari sistem lainnya. Sebuah program yang dikembangkan pada sistem
tertentu, belum tentu dengan mudah dapat dijalankan pada sistem lainnya.
Masalah ini mulai teratasi dengan sebuah sistem operasi yang lagi naik daun,
yaitu UNIXTM. Sistem UNIX ini dapat dijalankan pada berbagai jenis komputer.
Selain beroperasi pada komputer mini, UNIX pun dapat dioperasikan pada sebuah
generasi komputer “super mikro”, yang berbasis prosesor 32 bit seperti Motorola
MC68000. Ya: pada waktu itu, Motorola belum terkenal sebagai produser Hand
Phone! Sistem berbasis UNIX pertama di Universitas Indonesia (1983) ialah
komputer “Dual 83/20″ dengan sistem operasi UNIX versi 7, memori 1 Mbyte, serta
disk (8″) dengan kapasitas 20 Mbytes. Sistem tersebut tentunya sangat
“terbatas” dibandingkan komputer zaman sekarang. Namun, penelitian dengan
memanfaatkan komputer tersebut, menghasilkan puluhan sarjana S1 UI. Tema
penelitian S1 pada saat tersebut berkisar dalam bidang jaringan komputer,
seperti pengembangan email (PESAN), alih berkas (MIKAS), porting UUCP, X.25,
LAN ethernet, network printer server, dan lainnya. Komputer “Dual 83/20″ ini,
kemudian lebih dikenal dengan nama “INDOGTW” (Indonesian Gateway), karena pada
akhir tahun 1980-an digunakan “dedicated email” server ke luar negeri. Sistem
INDOGTW ini beroperasi non-stop 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Fungsi riset
sistem tersebut di atas, digantikan oleh komputer baru “INDOVAX”, yaitu DEC
VAX-11/750 dengan sistem unix 4.X BSD dengan memori 2 Mbytes, serta disk 300
Mbytes. Pada waktu itu, sanga lazim menamakan satu-satunya VAX pada setiap
institusi, dengan akhiran “VAX”. Contohnya: UCBVAX (Universitas Berkley),
UNRVAX (Universitas Nevada Reno), DECVAX (DEC), ROSEVAX (Rosemount Inc), MCVAX
(Amsterdam). Sistem ini pun kembali menghasilkan puluhan sarjana S1 UI untuk
berbagai penelitian seperti rancangan VLSI, X.400, dan sejenisnya. Untuk
mewadahi para pengguna dan penggemar UNIX yang mulai berkembang ini, dibentuk
sebuah Kelompok Pengguna Unix (Unix Users Group) yaitu INDONIX. Kelompok yang
dimotori oleh bapak “Didik” Partono Rudiarto (kini pimpinan INIXINDO) ini
melakukan pertemuan secara teratur setiap bulan. Setiap pertemuan ini akan
diisi dengan ceramah kiat dan trik UNIX, serta sebuah diskusi/ tanya-jawab.
Komputer mini — yang UNIX mau pun yang bukan — dominan hingga pertengahan tahun
1980-an. Komputer Personal (PC) masih sangat terbatas, baik kemampuannya, mau
pun populasinya. Bahkan hingga akhir 1980-an, PC masih dapat dikatakan
merupakan benda “langka” dan “mewah”. Semenjak pertengahan 1980-an, muncul
sistem komputer “super-mikro” berbasis prosesor Motorola MC68000 dan sistem operasi
Unix. Sejalan dengan ini, juga muncul PC/AT berbasis prosesor Intel 80286 dan
80386 dengan sistem operasi XENIX/SCO UNIX. Kehadiran prosesor Intel 80286
(lalu 80386) telah mendorong pengembangan sistem operasi dengan nama “XENIX”.
Harga sistem yang relatif murah, berakibat kenaikan populasi sistem Unix yang
cukup signifikan di Indonesia. Aplikasi yang populer untuk sistem ini ialah
sistem basis data Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pada awalnya, setiap sistem
operasi Unix dilengkapi dengan kode sumber (source code). Namun, hal tersebut
tidak berlaku untuk negara non-US (terutama non Eropa) akibat regulasi ekspor
US. Sebagai alternatif Prof. Andrew S. Tanenbaum dari VU (Belanda) mengedarkan
sebuah sistem Operasi sederhana dengan nama “MINIX” (Mini Unix). Titik berat
arah pengembangan MINIX ialah sesederhana mungkin agar dapat dipelajari dengan
mudah dalam satu semester. Program Studi Ilmu Komputer Universitas Indonesia,
tercatat pernah membeli source code MINIX dua kali, yaitu versi 1.2 (1987) dan
versi 1.5 (1999). Sebagai penunjang mata kuliah Sistem Operasi, telah hadir
MINIX (Mini Unix) yang bahkan dapat dijalankan pada PC biasa tanpa HardDisk!
Namun, MINIX memiliki dua keterbatasan bawaan. Pertama, dititik-beratkan agar
mudah dipelajari untuk keperluan pendidikan. Akibatnya, dengan sengaja tidak
dibuat canggih dan rumit. Kedua, (pada awalnya) MINIX harus dibeli dengan harga
lebih dari USD 100 per paket. Harga ini tidak dapat dikatakan murah bahkan
untuk ukuran kantong mahasiswa di luar negeri. Namun, MINIX telah digunakan di
Program Studi Ilmu Komputer Universitas Indonesia FUSILKOM UI, FakUltas ILmu
KOMputer UI) sebagai bagian dari kuliah sistem operasi menjelang akhir tahun
1990an. Besar kemungkinan, siapa pun pengguna MINIX saat itu (termasuk
penulis), pernah memiliki angan-angan untuk merancang sebuah kernel “idaman”
pengganti MINIX yang dapat — “dioprek”, “dipercanggih”, dan “didistribusikan” —
secara bebas. Tidak heran, Linus B. Torvalds mendapat sambutan hangat ketika
tahun 1991 mengumumkan kehadiran sebuah kernel “idaman” melalui buletin USENET
News “comp.os.minix”. Kernel ini kemudian lebih dikenal dengan nama Linux.
Namun, Linux tidak langsung mendapatkan perhatian di UI.
Era 1990an
Belum jelas, siapa
yang pertama kali membawa Linux ke Indonesia. Namun, yang pertama kali
mengumumkan secara publik (melalui milis pau-mikro) ialah Paulus Suryono
Adisoemarta dari Texas, USA, yang secara akrab dipanggil Bung Yono. Ketika
1992, bung Yono berkunjung ke Indonesia membawa distro SoftLanding System (SLS)
dalam beberapa keping disket. Kernel Linux pada distro tersebut masih revisi
0.9X (alpha testing), dengan kemampuan dukungan jaringan yang sangat terbatas.
Pada awal tahun 1990-an, kisaran harga sebuah ethernet board ialah USD 500;
padahal dengan kinerja yang jauh dibawah board yang sekarang biasa berharga USD
5.-. Dengan harga semahal itu, dapat dimaklumi, jika masih jarang ada
pengembang LINUX yang berkesempatan untuk mengembangkan driver ethernet.
Perioda 1992-1994 merupakan masa yang vakum. Secara sporadis, terdengar ada
yang mendiskusikan “Linux”, namun terbatas pada uji coba. Kernel Linux 1.0
keluar pada tahun 1994. Salah satu distro yang masuk ke Indonesia pada tahun
tersebut ialah Slackware (kernel 1.0.8). Distro tersebut cukup lengkap dan
stabil sehingga merangsang tumbuhnya sebuah komunitas GNU/ Linux di lingkungan
Universitas Indonesia. Pada umumnya, PC menggunakan prosesor 386 dan 486,
dengan memori antara 4-8 Mbytes, dan hardisk 40 – 100 Mbyte. Biasanya hardisk
tersebut dibuat “dual boot”, yaitu dapat dalam mode DOS atau pun Linux.
Slackware menjadi populer dikalangan para mahasiswa UI, karena pada waktu itu
merupakan satu-satunya distribusi yang ada
. Banyak hal-hal baru yang “dioprek”/ “setup”. Umpama: yang pertama kali
men-setup X11R4 Linux di UI ialah Ivan S. Chandra (1994). Tahun 1994 merupakan
tahun penuh berkah. Tiga penyelenggara Internet sekali gus mulai beroperasi:
IPTEKnet, INDOnet, dan RADnet. Pada tahun berikutnya (1995), telah tercatat
beberapa institusi/ organisasi mulai mengoperasikan GNU/Linux sebagai
“production system”, seperti BPPT (mimo.bppt.go.id), IndoInternet
(kakitiga.indo.net.id), Sustainable Development Network (www.sdn.or.id dan
sangam.sdn.or.id), dan Universitas Indonesia (haur.cs.ui.ac.id). Umpamanya,
Sustainable Development Network Indonesia (sekarang diubah menjadi Sustainable
Debian Network) menggunakan distribusi Slackware (kernel 1.0.9) pada mesin 486
33Mhz, 16 Mbyte RAM, 1 Gbyte disk. Namun sekarang, situs tersebut numpang
webhost di IndoInternet. Kehadiran internet di Indonesia merangsang tumbuhnya
sebuah industri baru, yang dimotori oleh para enterpreneur muda. Mengingat GNU/
Linux merupakan salah satu pendukung dari Industri baru tersebut, tidak dapat
disangkal bahwa ini merupakan faktor yang cukup menentukan perkembangan
GNU/Linux di Indonesia. Selama perioda 1995-1997, GNU/Linux secara perlahan
mulai menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Bahkan krismon 1997 pun tidak
dapat menghentikan penyebaran ini. Pada tahun 1996, pernah ada sebuah milis
linux yang dapat dikatakan kurang begitu sukses. Anggota dari milis tersebut
ialah: Sl1zr@cc.usu- and1@indo.net- arwiya@indo.net- bjs@apoll.geologie-
budi@cool.mb- chairilk@indo.net- harry@futaba.nagaokaut- herkusut@soziologie-
ibrahim@indovax- idarmadi@indo.net- jimmyt@turtle- jonathan@bandung.wasantara-
louis@Glue- mermaid+@CMU- mwiryana@netbox- rheza@indo.net- rosadi@indo.net-
sentiono@cycor- trabas@indo.net- wibowo@hpsglsn- wiwit@bandung.wasantara-
edybs@jakarta.wasantara- ssurya@elang- dhie@bandung.wasantara- tanu@m-net.arbornet-
avinanta@gdarma- pink@cbn.net- louis@webindonesia- Sebelum 1997, issuenya
mungkin “Apa itu Linux?” Alhamdulillah, dewasa ini, yang terjadi malah
sebaliknya: “Anda belum kenal Linux?????” Demikian sekilas perkembangan sistem
UNIX sebelum 1997. Mudah-mudahan, ini akan memicu para pelaku IT lainnya untuk
melengkapi hikayat ini, terutama pasca 1997. PS: Sekarang mah… saya menggunakan
distro bikinan sendiri: DeDe atau De2! Juga, turut mendukung DeAl atau Debian
Alternatif.
Sumber referensi:
[KMP000418A]
Kompas Online. 2000. Semakin Seru Pertarungan di Ajang Sistem Operasi. Jakarta,
April 18. [WAS: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0004/18/IPTEK/sema07.htm%5D.
Terima kasih telah membaca artikel tentang Sejarah Linux di Indonesia di blog Anshar Share jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini di web browser anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.